Next of Kin



Pria tua itu sudah lama mendambakan buah hati. Namun dia dan sang istri belum bisa mendapatkannya, jadi dia mengundang salah seorang keponakannya untuk tinggal bersama mereka. Hal ini menimbulkan amarah dari sang istri yang berwatak jahat. Suaminya menyambut kedatangan sang remaja muda dengan hati yang gembira, tetapi wanita itu malah menunjukkan wajah yang kaku dan penuh kedengkian. Dia memandang dengan sinis kemudian memalingkan muka. Dan saat wanita itu menjilat bibirnya, sekilas si keponakan dapat melihat bentuk lidahnya yang bercabang dua seperti ular. Sejak hari itu dan seterusnya, remaja ini sebisa mungkin menghabiskan waktu dengan pamannya saja dan selalu berusaha menghindari sang bibi. Namun rupanya perilaku keponakannya ini membuat wanita itu malah senang menjahili si bocah, wanita itu sering muncul tiba tiba dan mengagetkannya.

Pada suatu sore, si keponakan tiba di rumah cukup larut. Dinyalakannya sebatang lilin dan kemudian dia hendak menaiki tangga. Baru setengah perjalanan naik, dia dikejutkan oleh sesuatu yang tampak seperti gulungan tali tambang. Bayangkan saja betapa ngerinya bocah itu saat di lihatnya tambang tadi tiba tiba terurai dengan sendirinya dan menggeliat menuruni anak tangga di depan mata kepalanya! Kemudian sesuatu yang seperti tambang itu merayap menyusuri lorong kemudian menelusup ke bawah pintu kamar Pamannya.

“Bangun! Bangun!,” remaja itu berteriak, sambil menggedor gedor pintu begitu keras hingga kepalan tangannya terasa nyeri. Namun ketika akhirnya sang paman yang terkantuk kantuk membukakan pintu, tak terlihat ada ular di dalam kamar. Bibinya tampak sedang tidur, maka remaja itu berbisik pelan ke telinga sang paman,

“Saya melihat ular.”

Tetapi pamannya terlalu mengantuk untuk merespon remaja ini, dan malah kembali berbaring di balik selimutnya. Si remaja pun memeriksa ke seluruh kamar tanpa bersuara, memeriksa laci laci, ke lemari, dan setiap sudut. Dia mengintip ke bawah ranjang lalu di balik kursi. Dia mulai berpikir kalau mungkin dia sudah gila hingga tiba tiba sang bibi bangun dan terduduk di ranjang lalu menyipitkan mata kemudian memandang si anak muda dengan tatapan bengis yang membuatnya merinding ngeri.

“Saya minta maaf kalau mengganggu tidurmu bi,” pekiknya, lalu berlari ke lantai atas dan langsung menutup pintu kamarnya rapat rapat.

Ketika dia bangun keesokan harinya, dia mendapati lubang di bawah pintu kamarnya, berbentuk sebuah rongga yang cukup muat untuk seekor ular bisa menelusup masuk. Dia meloncat dari ranjang dengan gemetaran. Saat dia beranjak ke lantai bawah, dia begitu terkejut bahwa di setiap pintu rumah itu tiba tiba saja terdapat rongga seukuran tubuh ular di bagian bawahnya.

Bibinya duduk manis di meja, sedang sarapan.

“Pamanmu pergi untuk sehari penuh,” kata wanita itu, sambil menjilati bibir dengan lidahnya yang bercabang.

Si remaja terlalu shock untuk menanggapi, namun kebisuanya itu malah memperburuk keadaan.

“Aku tak suka dengan sikapmu padaku,” kata wanita itu sambil menggenggam lengan si bocah. Kemudian wanita itu menekan kuku kukunya menusuk kulit si bocah yang merasa seolah olah lengannya sedang tergigit. Dia segera menghentakan lengannya kemudian berlari panik keluar dari rumah sambil menggosok gosok lengannya yang membengkak. Tangan beserta jari jarinya mulai terasa berdenyut denyut. Dia tahu harus mencari bantuan, maka dia berlari ke hutan untuk menemui si Tabib tua bijaksana yang tinggal di sana.

Tabib tua itu mengobati lengannya dengan seksama dan memberinya dedaunan herbal.

“Ini paling mujarab untuk menyembuhkan gigitan ular,” kata si tabib. “Balutkan dedaunan ini ke lukamu dan usahakan supaya tetap basah.”

“Tapi saya tidak di gigit ular,” kata si remaja. “Luka saya ini disebabkan oleh tusukan kuku2 bibi saya.”

Si tabib menggeleng simpatik.

“Sentuhan wanita ular akibatnya malah lebih parah,” katanya.

“Tapi gunakan saja dedaunan ini. Pasti manjur.”

Si remaja muda terhenyak.

“Apakah bibi saya itu adalah wanita ular?” tanyanya.

“Jika kau ingin tahu,” jawab si tabib tua, “jangan tidur malam ini, dan jika ada seekor ular memasuki kamarmu, potonglah ujung ekornya.”

Remaja itu tak yakin apakah itu ada gunanya, namun dia tetap berterimakasih kepada si tabib tua kemudian berjalan pulang ke rumah pamannya.

Menjelang waktu siang, dia lega karena khasiat dedaunan basah itu berhasil mengempeskan lukanya yang bengkak.

Dia mengawasi sang bibi dengan ketat sore itu, namun dia tak mendapati apapun yang aneh hingga sang bibi sedang mencicipi sup nya. Wanita itu berkata,

“ini kurang penyedap rass..sss..saaa” dia memanjangkan “s”nya seolah olah sedang mendesis. Remaja itu langsung merinding dari mulai ujung tumit hingga ke puncak ubun2. Dia pamit dari meja makan, lalu naik ke kamar. Tapi tidak untuk bersiap tidur.

Dia berencana memantau keadaan sepanjang malam itu.

Cahaya rembulan yang melingkar penuh cukup untuk menerangi bagian bawah pintunya, jadi dia memadamkan lilin kemudian menyiapkan sebuah belati. Lalu diam dan menunggu.

Dia menunggu berjam-jam memperkirakan apa yang akan di perbuat ular itu. Bagaimana jika ularnya malah masuk lewat jendela, kemudian menelusup ke belakangnya, dan tiba tiba menggigit dengan taringnya yang beracun? Dan bagaimana jika binatang itu menggeliat ke atas lemari lalu menjatuhkan dirinya dari sana? Saat remaja itu sibuk memikirkan cara melarikan diri untuk keselamatan nyawanya, ular itu tiba tiba muncul melalui rongga di bawah pintu, pertama kepalanya, lalu tubuhnya, lalu ekornya.

Slash! Remaja itu mengayunkan belati dengan begitu cepat hingga tak di sadari oleh si ular. Dan ujung ekornya pun terpotong sembari ular itu menggelepar kesakitan, meliuk-liuk, di lantai. Ular itu mendongak hendak menyerang, namun ternyata hanya mendesis kemudian menelusup keluar dari kamar. Saat remaja muda itu melongok ke lorong di lantai bawah, dia lihat ular itu masuk dan menghilang ke dalam kamar sang paman.

Si remaja muda tak tahan menyaksikan potongan ekor ular itu yang masih menggeliat sendiri, jadi di tusuknya ekor itu dengan belati lalu di lemparkan ke dalam sebuah kotak.

Malam itu dia sama sekali tak dapat memejamkan mata, karena saat dia terlelap, dia bermimpi diburu oleh sekumpulan ular ganas.

Esok paginya, dia membuka kotak itu untuk melihat potongan ekor si ular namun yang dia lihat malah potongan dari ujung tumit kaki manusia.

Dia segera bergegas kembali ke hutan untuk mengabarkan kejadian itu pada si tabib tua.

“Dan hari ini bibiku tidak beranjak dari ranjang, tapi tahukah anda apa yang di katakan paman saya? Wanita itu memberitahunya bahwa kakinya terluka karena dia berjalan sambil tidur!”

“Bisa jadi sekarang wanita itu terancam olehmu,” kata si tabib. “Mungkin dia akan berusaha untuk melenyapkanmu nak. Dengarkan baik baik. Jika kau merasa dalam bahaya, kau harus mencari kulit ular di kamarnya dan jika sudah kau temukan, bakarlah!”

Remaja muda itu pamit pergi, namun jauh dalam hatinya dia merasakan perasaan iba. Apa yang akan terjadi jika dia membakar kulit ular itu? Maka dia memutuskan untuk memberi satu kesempatan terakhir pada sang bibi.

Dalam masa penyembuhan, wanita itu tak menimbulkan masalah apapun, namun ketika lukanya semakin pulih, dia kembali berkeliaran dan merayap ke seluruh pelosok rumah.

Kadang, saat remaja itu sedang berbaring di ranjangnya, dia melihat ular itu menyusup masuk lalu keluar dari sepatu bootnya yang tergeletak, atau dari balik jaket yang baru di pakainya.

Di suatu malam yang mencekam, dia merasakan ular itu melingkar di bawah bantal, sontak saja dia terlonjak dari ranjang dengan keringat dingin yang bercucuran.

Mimpi mimpinya semakin lama semakin mengerikan. Dia bermimpi di cekik oleh sang bibi. Dia terbangun sambil megap megap, dan merasa ada sesuatu yang melilit lehernya begitu kencang. Ternyata itu adalah si ular. Dia menariknya kemudian di lemparnya ke seberang ruangan. Setelah dia dapat bernafas lagi, dia tahu bahwa saran si tabib harus di lakukan.

Hari esoknya sang bibi mengeluhkan sakit punggung, namun itu tak mengurungkan niatnya untuk pergi jalan jalan dengan si suami.

Segera setelah mereka pergi, remaja itu menyelinap ke kamar mereka untuk mencari kulit ular itu, namun dia tak dapat menemukannya. Dia baru saja akan menyerah ketika di lihatnya jejak kaki berdebu di sebuah kursi. Dia menapak ke atas kursi untuk memeriksa bagian atas lemari, dan disana tergulung rapi, kulit ular yang berkilap-kilap.

Namun ketika baru saja dia mengambil kulit itu, pintu rumah berderit terbuka, itu berarti paman dan bibinya sudah kembali. Dia melipat kulit itu dan di genggamnya dengan erat sebelum dia bergegas kembali ke kamarnya. Dan saat itulah terdengar pekikan yang mengerikan dari bawah.

Bibinya menjerit,

“Aku merasa ada yang menggenggam dan meremas tubuhku.!”

Ketika si keponakan mendengar rintihan bibinya, dia merasa begitu iba dan hampir kehilangan tekad. Namun kemudian dia teringat ketika ular itu melingkar membelit lehernya, dan berusaha mencekiknya. 

Dia lemparkan kulit itu ke nyala api dan disaksikannya terbakar habis.

Ketika dia kembali ke lantai bawah, dia terkejut melihat sang bibi terbaring tak berdaya di lantai. Dia mengira hanya ular itu yang akan mati, namun ternyata bibinya juga ikut meregang nyawa.

“Maafkan saya,” ucapnya pada sang paman.

Namun pria itu malah terlihat lega.

“Hanya.. sss.. yangsss.. berbisss..ssaa yangsss berbahaya... ssssss...,” jawabnya, lalu menjilat bibir.