Marnie berjalan masuk ke hutan dan tak pernah kembali. Kami menunggunya. Bisa saja kami segera pergi tepat setelah dia menghilang diantara pepohonan, tapi dia terlihat begitu yakin sehingga membuat kami tetap menunggu. Tak seorangpun mengatakanya tapi setelah dua jam berlalu kami pun tahu bahwa ini benar benar terjadi. Tentu saja kami merasa bersalah pada marnie tetapi jikalau aku bisa mengatakan satu kata terakhir untuknya, maka itu bukanlah “berhenti”. Melainkan “terimakasih”. Karena dia yang pergi dan bukan aku. Jadi jika aku merasakan suatu perasaan terhadap marnie, maka itu adalah rasa syukur, bukan kasihan. Lagi pula pada akhirnya dia juga yang harus pergi. Dialah yang menemukannya.
Kapel kecil dari batu yang berdiri di tengah tanah lapang, di lingkari oleh barisan pepohonan. Marnie yang pertama melihatnya dan langsung menerjang rerumputan, lalu mengajak kami mengikutinya. Bagaimana bisa kami tak pernah melihat kapel itu sebelumnya? Mungkin kapel itu memang tak ingin untuk ditemukan. Terletak di tempat paling jauh dari yang pernah kami jelajahi, terasa seperti berada tepat di jantung hutan. Udaranya dingin. Lebih dari itu, terasa aura kematian. Tak ada yang bergerak atau bersuara. Aku tahu tempat itu seharusnya tak boleh ditemukan. Tidak oleh mata manusia. Terlalu keramat. Terdapat beberapa baris bangku panjang dan sebuah altar batu Yang menjulang. Itulah.
Dan disana masih ada yang lain. Mereka yang hidup di tempat itu yang lebih nyata daripada apa yang terlihat. Aku ingin pergi tapi marnie berpikir bahwa tempat ini lucu. “ ngapain juga mereka membangun kapel di tempat seperti ini?” katanya.
Kami seharusnya tak melakukannya. Tentu saja itu idenya marnie. “ayo lakukan ritual pengorbanan untuk menyenangkan para dewa”, dia terkekeh. Elizabeth juga tertawa. Marnie berkhotbah asal asalan di altar dan kami duduk di bangku batu di sekitarnya sambil menundukkan kepala kami. Saat itu sungguh terasa konyol dan mungkin semuanya akan lebih baik jika kami menghentikanya tapi marnie bersikeras.
“kita butuh tumbal”, kata marnie. Yang lainya pergi mencari cari tapi aku tetap duduk. Harusnya aku pergi saja, tapi ada sesuatu yang aneh tentang tempat itu. Aku merasa terhubung dengan tempat tersebut. Terasa menenangkan. Marnie kembali, sambil tersenyum, menggenggam seekor kadal kecil. Dia menjinjing kadal itu dihadapanya, menggumamkan nada puji pujian aneh. Marnie naik ke altar, mencengkeram kadal dengan satu tangan. Elizabeth memberinya sebuah batu. Elizabeth terlihat agak ragu saat itu. Marie memegang batu itu dengan tangannya yang lain, mengangkatnya tinggi tinggi diatas kepalanya.
“dewa dewa mulia yang menjaga hutan ini,” teriaknya dengan lantang, “terimalah persembahan tulus ini sebagai pertukaran atas keabadian yang kau berikan”. Lalu di hunjamkan batunya ke bawah. Beberapa dari kami terkejut. Aku pikir tak seorangpun dari kami yang menyangka dia sungguh sungguh melakukanya. Noda darah yang hitam terciprat di altar. Angin dingin berhembus menyapu tanah lapang. Saat itulah aku sadar bahwa kami telah membangunkan mereka. Yang lainpun pasti juga merasakanya karena semuanya ingin segera pergi dari sana, bahkan marnie.
Marnie menunggu seminggu penuh sebelum dia meminta kami untuk kembali ke tempat itu bersamanya. Dia mengatakanya seakan akan itu guyonan tapi aku tahu dia sudah termakan oleh pemikiran itu. Matanya, kehilangan cahayanya. Kami pergi bersamanya sampai ke pinggir hutan. Dan kami semua melangkah mundur. Dia menertawai kami, mengejek kami penakut. Kami memang takut tapi kami tidak bodoh. Marnie berusaha membujuk kami, tapi akhirnya dia menyerah. Marnie memutuskan pergi sendirian. Dan kami membiarkannya.
Lebih mudah untuk tak membicarakannya. Polisi mengajukan banyak pertanyaan, tapi kami tak pernah menambahkan apa yang telah terjadi di dalam hutan. Kami semua memutuskan untuk menjauhi tempat itu, kecuali Elizabeth. Dia terus terusan membicarakannya. Dia menjadi terobsesi. Dia memohon pada kami untuk kembali lagi. Dia bilang marnie memanggilnya. Dia berkata bahwa dia bisa merasakan tempat itu memanggilnya. Itu membuatku ngeri karena aku juga merasakannya. Terbangun setiap malam merasa jantungku akan meledak jika aku tak kembali ke tempat itu sekali lagi. Kelihatanya perasaan itu berpengaruh lebih besar pada Elizabeth. Dia telah dekat dengan Marnie saat itu terjadi. Mungkin mereka telah merasakan kehadirannya.
Jadi kami semua tiba di sana, di pinggiran hutan, di tempat yang sama saat Marnie pergi meninggalkan kami. Yang lain mencoba mempertanyakan kehendak Elizabeth, tapi dia tidak perduli. Sembari kulihat Elizabeth menghilang ke dalam hutan, aku membisikan salam perpisahan akhir. Kami menunggu lagi. Aku tak tahu mengapa. Ketika Marnie pergi ke sana masih ada rasa yakin bahwa dia akan kembali tapi kali ini aku pikir kami tak ingin dia kembali. Berapa lama kami menunggu? Selama yang memungkinkan.
Kami hampir tak percaya saat Elizabeth muncul dari dalam hutan. Dia berjalan keluar seperti tak terjadi apapun. Dia penuh luka cakar dan awut awutan, aku bahkan tak tahu apakah itu masih dia. Dia berjalan ke arah kami, lalu berdiri di sana menatap kami satu persatu sambil tersenyum kecil pengharapan di wajahnya. Di tanganya tergenggam sebuah batu berat yang tajam.
“lihat ini.” katanya, dan di hantamkanya batu itu ke mata kirinya. Darah mengalir menuruni wajahnya, dia memekik aneh, semacam gabungan mengerikan dari tawa, tangisan dan teriakan. Kami lari. Kami meninggalkan dia disana masih berteriak dan tertawa tawa. Raungan kerasnya adalah hal terakhir yang aku dengar dari Elizabeth. Kerusakan akibat luka di matanya tak bisa diperbaiki dan dia dimasukan ke rumah sakit jiwa. Sampai sekarang dia masih disana.
Tapi sebenarnya tadi itu bukan hal yang paling akhir yang kudengar dari Elizabeth. Aku menjenguknya sekali sekitar sebulan setelah... kejadian itu. Raganya masih sama, akan tetapi jiwanya sudah bukan elizabeth lagi. Dia duduk disana dan hanya menatapku, masih dengan senyum tipisnya yang hampa, matanya yang tinggal satu mengikuti setiap gerakanku. Aku mencoba berbicara padanya. Aku ingin meminta maaf atas apa yang tak ku ketahui. Dia tak merespon, hanya duduk disana dan tersenyum. Aku tidak berada di sana cukup lama, tak ada gunanya juga. Dia menunggu sampai aku beranjak mendekati pintu keluar sebelum dia berbicara. Semacam peringatan atau mungkin itu cara dia menunjukan bahwa aku juga harus bertanggung jawab? Walaupun aku tak terlalu menghiraukannya, aku masih terus mendengar senandung kekanak kanakannya menggema berulang ulang di dalam kepalaku,
“Pepohonan... Pepohonan... Mereka datang dari pepohonan...
“Mereka menginginkanmu, tapi mereka mendapatkanku...”