Ketika aku menulis surat ini, aku benar-benar tidak tahu apa yang harus ku tulis. Maksudku, aku tidak yakin apakah aku akan bangun besok, jadi aku tidak bisa memutuskan apakah ini harus menjadi semacam surat wasiatku.
Perpisahan terakhirku untuk ksemua orang yang aku kenal, apakah mereka akan percaya akan apa yang terjadi padaku atau tidak. Pada pikiran keduanya, jika aku bertahan, dan seseorang menemukan surat ini, katakana saja, mereka tidak mau memikirkanku seperti yang mereka lakukan sebelumnya. Tidak ada yang pasti bagiku saat ini, dan aku menulis semua ini hanya untuk menyingkirkan bebanku, sesuatu yang membuat aku ketakutan sejak aku kecil.
Ini dimulai sejak aku berumur 8 tahun, atau mungkin 9 tahun. Aku tidak tahu pasti. Saat itu ada seorang anak laki-laki yang sering bermain denganku, dia tinggal tepat di seberang jalan rumahku. Suatu minggu pagi aku ingin bertemu dengannya, tapi dia tidak pernah datang. Aku ke rumahnya dan menekan bel pintunya. Tidak ada yang membukanya. Apartemennya kosong.
Aku tidak tahu apa yang terjadi dengannya dan keluarganya. Orang tuaku mengatakan ayahnya dapat pekerjaan baru dan mereka pindah dari sini. Aku tidak pernah percaya itu, dan tidak akan pernah percaya. Yang terburuk adalah bahwa bahkan hari ini, di era jejaring sosial, aku tidak dapat menemukan jejak temanku itu. Dia menghilang, bagaikan lenyap di udara.
Segera setelah itu, hal yang aneh terjadi. Aku masuk ke kamar nenekku, dan dia mengatakan sesuatu yang tidak akan pernah kulupakan.
“Tangan hitam mengambil mereka,” katanya setengah berbisik, seolah-olah dia tidak ingin siapa pun mendengarnya, tetapi aku mendengar kata-kata ini.
“Apa itu?” tanyaku penasaran.
“Itu seperti lalat pada malam hari, memasuki jendela yang terbuka, mencekik orang dewasa dan mengambil anak mereka,” katanya gemetar, dengan suara yang lemah.
“Kemana tangan hitam itu membawa mereka?” tanyaku.
Dia tidak pernah menjawab pertanyaanku. Kau tahu, nenekku sepertinya merasa tidak enak. Tahun berikutnya dia meninggal, dan kematiannya mengingatkanku kata-katanya sekali lagi. Aku menghabiskan hidupku bertahun-tahun, mengawasi jendelaku agar jendelaku selalu tertutup, bahkan di malam musim panas pun aku menutup jendelaku, walaupun benar-benar panas. Ketakutanku tumbuh lebih dalam, karena meskipun aku tidak punya bukti kalau perkataannya benar-benar ada, tapi aku percaya itu. Aku mencoba untuk berbicara dengan orang tuaku, tapi setiap kali aku sebutkan Tangan Hitam itu, mereka hanya akan mengatakan bahwa itu tidak ada. Hanya legenda lama.
Ketika aku tumbuh dewasa, aku akhirnya berhasil membebaskan diri dari kecemasan yang pernah kualami. Aku pernah mendengar legenda Tangan Hitam di seluruh daerah Hutgen, dan untuk beberapa waktu aku hanya bisa menertawakan ketakutan masa kecilku. Ada banyak mitos ini, dan meskipun tidak ada yang menemukan bagaimana mitos itu menyebar, semua setuju bahwa saat itu adalah era dimana mitos itu menyebar.
Mitos itu menyebutkan:
Sebelum dan selama Perang Dunia II, banyak orang di Hutgen menghilang tanpa jejak. Ada sesuatu yang berbeda tentang orang-orang itu, sesuatu yang tak terlihat oleh mata anak kecil. Semua orang tahu di mana dan mengapa mereka telah menghilang, namun tidak ada yang berani berbicara tentang hal itu, terutama untuk anak-anak mereka.
Jadi cerita tentang makhluk -tangan hitam- itu menjelaskan semua hal-hal aneh terjadi, dan juga peringatan bagi anak-anak untuk menghindari orang asing dan mengingat untuk mengunci pintu di malam hari. Nenek tumbuh tepat pada saat itu, dan dia jelas tahu legenda itu. Mungkin, itu adalah beberapa trik menakutkan yang membuatnya ingat cerita ini tepat pada saat temanku menghilang.
Seperti yang sudah kukatakan, aku berhenti untuk percaya Tangan Hitam itu bertahun-tahun yang lalu. Aku masih tidak tahu apa yang terjadi pada temanku itu, dan aku tidak tahu apakah aku akan mencari tahu.
Aku mencoba untuk tidak memikirkan hal itu, dan aku masih berpikir bahwa itu hanya perasaanku yang aneh. Aku pindah ke asrama, setelah memasuki Universitas Hutgen adalah hal yang tidak terlalu menyenangkan bagiku. Mungkin, hanya kurangnya privasi, karena aku terbiasa tinggal di rumah sendiri. Tidak, teman sekamarku baik padaku, dan aku mungkin akan terbiasa dengan kehidupanku sekarang ini.
Semuanya berubah ketika aku mendengar sesuatu menepuk jendela. Aku jadi tidak bisa tidur, jadi aku mengawasi suara itu. “Mungkin burung,” itu yang terlintas pertama kali di pikiranku. “Atau mungkin kelelawar-mereka sering lewat disini,” Tapi segera setelah itu, suara itu makin mirip dengan tangan manusia yang sedang mengetuk jendela. Dari suara tepukan menjadi suara ketukan. Itu benar, itu seperti seseorang mengetuk jendela ini dengan tangan yang dikepalkan. Aku menjadi gelisah. Aku bangkit dan mencoba untuk tidak mengganggu teman sekamarku, perlahan-lahan berjalan menuju jendela. Aku mencoba melihat ke luar jendela, tapi aku tidak bisa melihat apa-apa-gelap gulita, dan aku membutuhkan cahaya. Aku tidak bisa menyalakan lampu, takut akan membangunkan teman sekamarku, jadi aku mengambil ponselku, mencoba untuk menggunakan cahaya ponsel. Suara ketukan itu perlahan mulai memudar, dan setelah beberapa lama aku memakai cahaya ponselku, tidak terdengar apa-apa lagi.
Aku berbaring di tempat tidurku, bingung. Bingung dan ketakutan. Ketakutan masa kanak-kanakku muncul, tapi aku masih tidak bisa membiarkan ketakutanku menyeretku. Setelah beberapa menit, aku memutuskan untuk memeriksa jendela lagi. Hanya untuk memastikan. Selama beberapa menit aku menatap ke dalam kegelapan. Aku tahu sekarang bahwa itu tidak ada. Tidak ada Tangan Hitam. Akhirnya, aku berani untuk melakukannya.
Aku membuka jendela.
Kemarin pagi aku bangun terlambat. Aku ketiduran, dan tentunya terlambat kuliah. Namun, aku punya beberapa hal lain yang perlu dikhawatirkan. Jendela itu tertutup, dan aku menganggap teman sekamarku-lah yang telah melakukannya sebelum pergi kuliah.
Dia tidak pernah datang kembali, dan dia masih tidak menjawab teleponku. Aku khawatir tentangnya, dan begitu pula orang lain. Ada yang mengatakan, ia meninggalkan bangku kuliah dan pindah ke luar kota dengan pacarnya. Aku ingin percaya itu. Aku ingin percaya itu.
Tapi malam ini, aku tidak bisa berhenti memikirkan itu. Aku bukan anak kecil, dan aku tidak percaya pada cerita-cerita konyol. Aku tidak percaya takhayul, tapi aku takut. Aku takut, karena aku sendirian, dan tak seorang pun dapat memberitahuku bahwa ketakutanku sebenarnya tidak pernah hilang. Sekarang aku sudah mendengar ketukan di jendelaku, tapi malam ini aku akan tidur dengan jendela yang terbuka.
Aku hanya ingin memastikan.