Aku Operator 911, Ini Adalah Panggilan Paling Mengerikan yang Pernah Kuterima



"911. Anda mengalami keadaan darurat?" Kataku saat menjawab telepon.

"Ada kelelawar di rumahku." Teriakan keras terdengar dari ujung pesawat telpon. "Kirimkan seseorang untuk datang mengurus ini." 

"Baiklah, saya akan mengirim pawang hewan secepat mungkin." Penelepon itu mengucapkan terima kasih dan mengatakan bahwa dia akan menunggu di luar. Aku menekan tombol untuk mengirim unit terdekat. Aku duduk di bilikku, mencoret-coret pena bolpoinku di selembar kertas putih kosong. 

Menjadi petugas operator tidak selalu mudah. Terutama di antah berantah Montana dengan populasi 500 orang. Kami mendapat telepon acak tentang bobcats, bison, dan bears yang datang begitu saja, panggilan iseng anak remaja karena mereka bosan, dan tentu saja, keadaan darurat selalu terjadi. Tapi semua ini sedikit berbeda dari yang kamu bayangkan, kadang kami bisa berjam-jam tanpa mendapat panggilan darurat. Yang tersulit adalah saat kamu mendapat bagian shift malam saja. "Kara?" Kudengar atasanku yang lurus berkata saat dia menyusuri lorong. 

"Aku di sini." Aku balas berteriak, masih mencoret-coret kertas putih itu. Aku bisa mendengar jejak langkahnya yang terhuyung-huyung sampai ke arahku. 

"Oh, hei," katanya sambil melongokkan kepalanya di tikungan lorong. 

"Aku mau pergi. Apakah kamu butuh sesuatu sebelum aku pergi?"

"Ku rasa aku baik." Aku mengangkat cangkir kopiku yang sekarang sudah menjadi dingin. 

"Akan ku matikan lampunya. Semoga malammu menyenangkan."

Aku mendengar suara lampu dimatikan di lorong. Lampu neon itulah yang membuat suara berdengung setiap kali kamu berada di bawah mereka. Aku benci saat lampu itu dimatikan, semuanya jadi sunyi. Berada di gedung ini di malam hari sendirian, kau bisa mendapatkan imajinasi liar. Aku duduk di mejaku melihat tujuh layar komputer. Di satu layar, aku bisa melihat dengan tepat di mana pasien darurat berada pada saat tertentu. Aku mulai menghafal nama jalan yang ada di daerah kami. Pada saat ini tidak ada yang terjadi. Malam itu sangat sepi. Sambil menyeruput kopiku yang dingin, aku mulai menuliskan daftar belanjaanku untuk esok harinya. Pada saat-saat seperti ini kopi sangat banyak berguna untuk membuatku terjaga pada jam 1 malam. 

"Apa yang aku butuhkan" aku bergumam keras. Aku menuliskan ayam, sayuran, kertas toilet, anggur ... beberapa botol anggur, semua itu yang aku butuhkan. Aku selesai membuat daftar, melipatnya ke saku jinsku. Suara bip terdengar dari headphone-ku yang berarti seseorang sedang menelponku. Aku mendongak saat ada nama dan nomor yang melintas di layar di depanku. 

"911 apa keadaan daruratmu?" Aku berkata dengan jelas kepada orang di balik telepon itu. 

"Aku butuh bantuan." Suara seorang anak di ujung sana. 

"Siapa namamu? Apa yang bisa aku bantu? " Aku berkata kembali pada gadis muda yang ketakutan itu.

"Aku butuh bantuan," katanya lagi. Aku menjawab, "Aku tidak bisa membantumu kecuali kau memberi tahuku apa yang sedang terjadi," dan kemudian sambungan teleponnya mati. Segera ku panggil nomor itu kembali, aku menunggu. Tapi tidak ada panggilan masuk dan tidak tersambung lagi. Aku memutuskan untuk memanggil salah satu petugas yang bertanggung jawab untuk memeriksanya. 

"Jenkins, aku ingin kau memeriksa 5689 Hickory Valley Road. Mungkin sedang ada keadaan darurat. Aku mencoba meneleponnya kembali tapi tak ada jawaban." Aku berkata melalui headphoneku. 

"Terima kasih Kara. Semoga malammu menyenangkan oleh kesepianmu. "Dia mulai tertawa. "Apa yang akan ku lakukan sendiri di bilik kecilmu itu?" 

"Dasar brengsek. Sebenarnya malamku ini cukup menyenangkan. Baiklah, lakukan tugasmu"Kataku balik. 

"Rodger!" Aku duduk kembali di kursiku sambil melihat layar sebelah kanan. Titik merah mulai bergerak perlahan menuju area dimana gadis muda itu menelepon. Melihat titik merah itu semakin dekat, aku bertanya-tanya apakah dia baik-baik saja. Lalu titik itu berhenti begitu saja. Ini biasanya berarti petugas yang menangani telah sampai di lokasi atau di dekatnya. Peta kami menunjukkan jalan-jalan, tapi tidak menunjukkan titik yang tepat. Sambil menunggu Jenkins menelponku kembali, aku menyeruput kopi lagi. Aku melihat jam perlahan-lahan berlalu - detik demi detik, menit demi menit. Aku baru saja akan meneleponnya kembali saat komputer menyala.

"911 sedang menuju tempatmu, sekarang beritahu lokasi daruratmu?" Aku mendongak saat nama dan nomor telepon muncul di layar. Kali ini aku bisa mengucapkan namanya dengan keras - Olivia Taylor.

"Aku tadi meneleponmu kembali tapi tidak ada jawaban. Petugas yang menangani seharusnya akan sampai," kataku cepat dan tegas.

"Mengapa kau tidak membantuku?" Dia merengek. Kudengar dia menangis melalui telpon. 

"Kami berusaha membantumu, Olivia. Seseorang pasti akan ada di sana, aku janji. Bisakah kau tetap berhubungan denganku?" Kataku sambil berusaha menyekap keringatku. 

"Lemari. Kau bisa menemukan kami di dalam lemari." Saya bisa mendengar tangisan lain yang terdengar sedikit jauh dari telpon.


"Olivia, adakah orang lain bersamamu?" Hatiku merasa seperti akan jatuh dari dadaku.

"Aku harus pergi! Dia akan mendengarku! "Teriaknya.

"Siapa yang akan mendengarmu Olivia?" Dan telepon mati lagi. Aku melihat ke peta dan melihat tempat Jenkin tidak bergerak. Tiba-tiba khawatir, aku memanggilnya kembali. Telepon berdering dan berdering. Dan akhirnya dia menjawab. "Jenkins." Dia berkata dengan otoritas.

"Oh, terima kasih Tuhan." Aku mengambil waktu sedetik untuk menarik napas. Jantungku berdebar kencang.

"Apa, kau tidak bisa menangani tempat itu sendiri? Kau harus menghubungiku terus." Dia mencoba bercanda, tapi dia segera menyadari bahwa aku tidak bermain-main. "Apa yang sedang terjadi? Apakah kau baik-baik saja?"

"Saya mendapat telepon dari korban. Apa ETA-mu? "Aku memejamkan mata dan berusaha tetap tenang. Ini adalah bagian dari persyaratan kerja.

"Menunggu cadangan. Berada di tempat lokasi antah berantah. Hanya ada jalan setapak melalui hutan yang tidak bisa dilewati oleh mobil. Kita harus berjalan kaki. Seharusnya hanya beberapa menit lagi." Kini ku melihat-lihat layar. Aku bisa melihat dua titik bergerak mendekati Jenkins.

"Telpon aku begitu kau sampai di sana. Dia bersembunyi di lemari. Aku yakin ada orang lain bersamanya." Aku memberitahunya.

"Terima kasih atas infonya. Aku akan menghubungimu begitu sampai disana" Dan dia menutup telepon.

Aku harus mengambil beberapa saat untuk menenangkan diri. Aku berjalan menyusuri lorong panjang menuju kamar mandi. Saat menyalakan lampu, kedipan suara jantungku berdetak kencang. Suara dengungan yang familiar menenangkanku saat aku memercikkan air dingin ke wajahku. Melihat ke cermin, aku bisa tahu bahwa mukaku berubah warna. Rona yang biasa sekarang berwarna putih pucat dan pupilku membesar. Ini akan baik-baik saja. Ini akan baik-baik saja. Aku meyakinkan bayanganku di cermin. Saat keluar dari kamar kecil, aku bisa mendengar suara bip dari headphoneku lagi. Aku berlari ke ruanganku, berpikir bahwa itu adalah Jenkins yang memberiku kabar terbaru. Tapi saat melihat nama di layar, perutku langsung terjatuh. "Olivia, aku tahu ini dia. Apakah kau baik-baik saja? " Aku melihat peta di layar. "Petugas sedang dalam perjalanan. Mereka mestinya berada di sana dalam waktu kurang dari satu menit." Tidak ada tanggapan. "Apakah kau masih disana? Bisakah kau mendengarku Olivia?" Terdengar tangisan dibelakangnya.

"Sudah terlambat." Akhirnya dia berkata. "Dia ada di ruangan ini. Dia mendengarku "

"Siapa di dalam kamar bersamamu? Tolong beritahuku supaya aku bisa memberitahu petugas untuk kesana." Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha untuk tetap tenang.

"Dia punya pistol." Kudengar pintu terbuka saat jeritan keras terdengar dari telepon. Aku bisa mendengar dua tembakan keras. Dan sunyi.

SIAL! SIAL! Aku berteriak keras-keras. Aku tahu apa artinya ini, air mata mulai mengalir di wajahku. Layar mulai menyala lagi, kali ini namanya Carlos Jenkins. Aku menarik napas panjang saat aku menjawabnya. "Korban baru saja menelepon lagi. Bisa memiliki DOA Jenkins. Kau terlalu lama sialan." Aku berteriak ke telepon.

"Bagaimana bisa ada yang menelponmu, Kara?" Katanya bingung. "Jangan main-main denganku sekarang.  Apa kau sudahkah sampai di tempat tujuan atau tidak?" Aku melihat layar di depanku.

"Kami sampai di kabin. Sekitar satu mil dari jalan utama. Aku benci mengatakan ini padamu, tapi semua orang sudah mati." Ada keheningan di akhir hidupnya.

"Sialan." Aku mengusap wajahku. Kulitku mulai menjadi panas karena marah.

"Tapi aku tidak mengerti bagaimana bisa ada orang yang menelepon mu malam ini." Aku mendongak dari mejaku bingung. "Apa maksudmu?"

"Kami menemukan tiga set sisa kerangka. Salah satunya adalah laki-laki dewasa, mungkin itu ayahnya, dan dua gadis muda. Jenazahnya sekitar berumur paling sedikit dua belas bulan." Dadaku berdegub kencang dan berasa ruangan ini mulai berputar. Aku hampir pingsan.

"Hal yang aneh adalah ..." Jenkins melanjutkan perkataannya, "Kami menemukan dua kerangka perempuan di lemari. Ada yang memiliki telepon seluler di tangannya. Mencoba mendapatkan bantuan, kurasa."