The Brick Wall



Massey adalah seorang tentara yang tak begitu beruntung untuk dapat menyaingiku, sang pemimpin komandonya. Namun ia tak mau kalah. Ketika itu sungguh terasa memuaskan saat ujung pedangku menghunus menembus jantungnya dalam duel yang dia tantangkan padaku. Dengan rasa bangga oleh kemenangan, aku menyaksikan tubuhnya jatuh tersungkur ke tanah.

Para kadet lain tampak depresi berminggu minggu setelahnya. Mereka sering sekali membicarakan Massey, tapi aku mengacuhkan obrolan mereka.

Suatu malam, aku pamit ke bilik untuk menyendiri, beberapa saat kemudian sekelompok pria yang dulunya pernah menjadi teman-teman Massey datang dan ikut nimbrung bersamaku. Aku terkejut dan senang sekali setelah mereka bercerita bahwa akhirnya mereka sadar dan telah melihat sendiri jika Massey adalah letnan tingkat bawah yang tak punya sopan santun serta seorang pembual. Kami minum dan tertawa bersama. Akupun minum terlalu banyak malam itu.

Salah seorang kadet mengajak untuk melakukan penjelajahan ke bagian kamar tahanan bawah tanah. Gagasan itu terdengar menarik untukku. Kamipun beranjak pergi dengan„ begitu bersemangat, sambil minum-minum, dan bernyanyi, dan tertawa, suara kami menggema ke sepenjuru lorong-lorong sempit. Kami masuk semakin dalam ke ruangan bawah tanah. Kepala terasa pening dan lututku selemas karet setelah minum sebanyak itu. Aku pun jatuh pingsan akibat terlalu mabuk.

Ketika aku siuman, aku berada dalam posisi terlentang, dengan kedua pergelangan tangan juga kaki di pancang ke lantai. Oh rupanya para kadet pemabuk itu mau mengerjaiku, aku membatin.

“Lucu sekali nona-nona,” seruku. “Sekarang bebaskan aku.”

Tapi para kadet itu hanya diam saja. Beberapa saat kemudian, sahabat karib Massey muncul di ambang pintu, sambil menenteng sekop semen dan sebuah cangkul. Kadet yang lain mulai mengangsurkan batu bata kepadanya, saat itulah aku tahu kalau mereka akan menemboki pintu masuk dari ruangan dimana aku terpancang di dalamnya.

“Sangat lucu,” kataku lagi.

Tak seorangpun menggubrisku. Mereka terus bekerja dalam hening, menata bata demi bata sampai satu baris selesai, lalu melanjutkan baris ke dua. Mereka pasti sedang mempermainkanku, tentu saja.

Kemudian sahabat karib Massey berhenti sebentar dan menatap lurus ke mataku. Ketika itu juga akupun menyadari bahwa mereka tidak sedang bercanda sama sekali. Jeritan demi jeritan mulai melengking keluar dari kerongkonganku sembari aku mencoba melepaskan diri. Namun ruang tahanan itu terlalu dalam dibawah tanah, hingga tak seorangpun yang akan mendengar teriakanku. Sedangkan mereka hampir menyelesaikan tumpukan bata terakhir. Aku merayu mereka, menawari harta kekayaan yang kupunya dengan tujuan agar aku bisa menghindari takdirku ini. Namun tak ada yang mendengarkan penawaranku. Aku menyaksikan dengan horor dan jantungku berdebar semakin kencang saat potongan bata terakhir ditempatkan, saat sinar cahaya hilang tak berbekas dari pandangan. Aku telah di kubur hidup-hidup dalam kedalaman, kesunyian dan kegelapan tahanan ruang bawah tanah ini. Aku meraung raung panik, menggeliat geliat dari pancangan besi di kedua tangan serta kakiku. Namun pada akhirnya tubuhku tetap terlentang di atas lantai dingin, pergelangan tangan dan kakiku basah oleh darahku sendiri. Jari jemariku lecet akibat tadi mencakari lantai keras karena aku terlalu bernafsu memberontak.

Aku mendapati diriku menangis dalam amarah, walaupun seumur hidup belum pernah aku seperti itu. Rasa perih oleh sebab pemikiranku membuatku kembali meraung raung, mengesampingkan rasa sakit yang menyiksa pergelangan, mata kaki juga tanganku.

Sinar matahari. Aku harus melihatnya lagi. Sekali saja.

“Jangan tinggalkan aku membusuk disini sendirian! Jangan tinggalkan aku!”

Tapi aku memang hanya seorang diri, dan kengerian mencekam itu melingkupiku seutuhnya. Mataku mencoba menerawang dalam kegelapan total di sekelilingku, namun tetap tak ada bedanya meskipun mataku terbuka atau terpejam.

Oh Tuhan, aku tak bisa keluar. Aku tak bisa keluar. AKU TAK BISA KELUAR DARI SINI !