Orang Asing di Gereja



Cerita ini terjadi jauh sebelum mobil ditemukan, atau jalan raya, ataupun motel. Dahulu kala, orang berpergian atau membawa dagangan mereka dengan menaiki gerobak berkuda, berkendara menyusuri jalan penuh kerikil bermil-mil jauhnya dari satu tempat ke tempat yang lain. Dan “pengelana bergerobak” (julukan yang di gunakan orang jaman dulu untuk memanggil pekerja yang bertugas sebagai kurir pengantar barang) akan begitu letih setelah berkendara sangat jauh sehingga mereka selalu mencari tempat sekenanya untuk tidur dan beristirahat.

Masalah inilah yang sedang di alami joe bates. Sudah dua hari lamanya, dia terus mengendarai gerobaknya yang penuh dengan perlengkapan perkebunan yang harus di antarkannya ke red springs, alabama.

Malam datang begitu cepat - begitupun kelopak matanya yang semakin berat. Hal terakhir yang paling diinginkanya saat itu adalah tidur dan menambatkan kuda kudanya di dekat kubangan. Jadi dia memutuskan lebih baik mencari tempat beristirahat barang sebentar, meskipun tempatnya dingin, dan berbatu.

Mujur baginya, joe berpapasan dengan seorang petani tua yang tengah berjalan pulang setelah seharian bekerja di ladang. Joe menyapanya dan bertanya dimana dia bisa menemukan sebuah penginapan. “tak ada yang semacam itu dari sini sampai red springs,” kata si petani tua. Kemudian dia menunjuk ke sebuah jalan kecil berdebu yang terpisah dari jalur utama dan terbentang menembus rerimbunan hutan pinus. “itu jalan pintas yang bisa menghemat setengah dari waktu perjalananmu. Tapi aku takkan lewat sana kalau sudah malam.”

“kenapa begitu?” Tanya joe.

Si petani tua meludahkah cairan tembakau ke semak semak dan berkata, “karena semua orang tahu jalan itu berhantu.”

Well, joe sudah terlalu sering berkelana ke sepenjuru alabama dan cukup tahu bahwa orang orang setempat sering mengarang cerita guna mengisi waktu senggang. Jadi joe hanya tersenyum lebar, menepuk bahu si pria tua dan berucap, “terimakasih pak tua, tapi aku akan ambil resikonya, walaupun berhantu atau tidak.” Kemudian, dia mengendarai gerobaknya menyusuri jalan itu.

Beberapa jam berlalu, dan joe mulai berpikir bahwa jalan itu tak terlalu pintas untuk disebut jalan pintas. Semua yang bisa dia lihat adalah hutan lebat yang gelap gulita di sekelilingnya. Cahaya lenteranya menciptakan bayang bayang menyeramkan dari pepohonan pinus yang lembab. Makhluk makhluk malam saling berkeresak kerisuk di dalam kegelapan, seolah sedang menanti hutan itu menelan joe hidup hidup.

Akhirnya rimbunan pepohonan di salah satu sisi terkuak dan menampakan sebuah gereja putih kecil berdinding papan berdiri sendiri di lembah sempit. Jendelanya gelap, tapi joe tahu bahwa mungkin pintunya tak terkunci. Lagi pula, seperti yang di nasihatkan para pendeta pada jemaatnya agar berani berdoa di manapun engkau berada, meskipun sudah sangat larut malam. Jadi joe menambatkan kudanya ke beranda depan, menapaki tangga, membuka pintunya yang berat dan menderit kencang.

Seperti yang tampak, gereja itu kosong, lalu joe merentangkan tubuhnya dan berbaring di bangku terdekat sembari dia terkekeh sendiri. Dia sungguh tak percaya akan keberuntungannya, telah menemukan tempat ini di tengah hutan antah berantah. Ini hampir membuatnya mempertimbangkan lagi untuk mengikuti kebaktian di gereja setiap hari minggu! Tapi dia segera menepis pemikiran itu lalu jatuh tertidur lelap, dan mendengkur sepuasnya.

Beberapa saat kemudian, joe terbangun oleh suara keletuk yang tiba tiba terdengar di luar pintu. Dia diam dan menyimak, memastikan itu hanya suara binatang yang merayap masuk dari luar sana. Suara itu terdengar lagi, dan kali ini lebih kencang. Joe meraih lenteranya yang telah padam, namun tak dapat menemukan korek untuk menyalakannya. Sambil tergesa gesa dia bersumpah serapah, kemudian dia mengintip ke atas bangku. Sementara matanya beradaptasi dengan kegelapan.

Dan ketika matanya mulai fokus, dia melihat sesuatu yang membuatnya terlonjak. Sesosok makhluk kecil bergaun putih berdiri di mimbar, bergoyang maju mundur dengan perlahan di atas tumitnya. “siapa itu?” Seru joe, yang hanya di jawab dengan suara rintihan sayup sayup.

Joe menemukan korek di kantungnya. Dia hendak menyalakan lentera, tapi sia sia. Ketika dia mendongak, bulu kuduknya meremang saat dilihatnya makhluk itu bergerak mendekat. Dia dapat melihat makhluk itu ternyata adalah wanita yang bergaun putih compang camping, rambut panjangnya yang awut awutan menggantung menutupi wajahnya. Wanita itu merintih semakin kencang saat mendekati joe. Joe melangkah mundur ke arah pintu. Sambil dia terus mencoba menyalakan lenteranya lagi, namun apinya selalu padam. Dia melihat kedepan dan wanita itu malah semakin dekat. Begitu dekat hingga dia dapat melihat noda lumpur di gaunnya. 

“ap...apa yang kau inginkan?!” Tanya joe, suaranya bergetar.

Dia mundur menabrak pintu yang tertutup. Wanita itu semakin dekat dan lebih dekat lagi, rintihannya semakin kencang dan lantang. Joe berjibaku dengan lenteranya lagi, memantik nyala api lagi. Kali ini dia berhasil, dia mengangkat lenteranya ke depan, dan memekik - wanita itu sudah berada persis di hadapannya, matanya ganas dan berwarna merah, kulitnya pucat dan pecah pecah seperti boneka cina yang usang! Wanita itu mengangkat tangannya ke wajah joe, dan sekilas joe dapat melihat kuku kukunya yang rusak dan kotor.

Joe mengayunkan pintunya membuka lalu berlari sekuat tenaga ke gerobaknya. Dia dapat mendengar derap kaki wanita itu berlari mengejar menuruni tangga beranda di belakang joe. Dia langsung menyambar tali kekang kuda kudanya kemudian melompat ke kursi sopir. Dan tepat sebelum dia memacu pergi, dia bersumpah bahwa wanita itu sempat mencengkeram kain bajunya, berusaha menyeretnya jatuh dari gerobak.

Joe kabur menjauh pergi dari gereja dan tak berhenti hingga dia tiba di red springs, bersamaan dengan terbitnya matahari pagi di kaki langit. Dia mampir ke warung setempat, kemudian terkulai lemas di kursi. Dengan jari jari yang gemetaran, dinyalakanya sebatang rokok dan dia menarik perhatian para pelanggan yang sedang sarapan di sana.

“anda baik baik saja, tuan?” Tanya pengelola warung sambil dia menuangkan kopi yang mengepul ke cangkir joe.

Joe mengangguk dan menceritakan semua tentang hantu yang di lihatnya di gereja. Pemilik warung itu menatap joe untuk beberapa saat, kemudian duduk perlahan di sebelahnya dan berkata, “yang anda lihat bukanlah hantu. Saya rasa itu adalah marry ann finch. Sherrif sudah mencarinya selama berhari hari.” Penjelasannya berlanjut bahwa marry ann adalah perempuan muda yang telah kabur dari rumah sakit jiwa setempat. Tampaknya kurang lebih sekitar setahun yang lalu perempuan itu melahirkan di luar nikah, karena takut dihina warga, dia membunuh bayinya lalu dikuburnya jauh di dalam hutan sehingga tak seorangpun yang dapat menemukannya. Tetapi rasa bersalah terus menghantui, hingga akhirnya dia jadi gila. Keluarganya mengirim dia ke rsj. Namun selagi dia mendekam di sana, dia terus menangis, berkata bahwa dia telah berubah pikiran dan ingin menggali jasad bayinya, yang terkubur entah dimana, jauh di kedalaman hutan pinus, kedinginan dan sendirian. Masalahnya, dia tidak ingat dimana dia telah menguburnya.

Pada suatu malam dokter marry ann mendatangi kamarnya untuk memberikan obat penenang harian, 
tapi perempuan itu menghilang. Kebanyakan warga berasumsi dia telah kabur ke hutan, namun tak seorangpun yang terlalu berminat pergi memasuki hutan untuk mencarinya.

Setelah joe menceritakan pengalamannya, para polisi segera pergi memeriksa gereja tersebut tetapi yang mereka temukan hanyalah kumpulan jejak kaki berlumpur. Tapi joe tidak tinggal terlalu lama untuk mengetahui kabar selanjutnya tentang marry ann finch. Dia tetap mengantar barang sesuai janji kemudian berkendara pulang, bersumpah untuk takkan lagi melalu jalan pintas yang meragukan, tak peduli meskipun dapat menghemat waktu sebanyak apapun.

Dan dia juga mendapat pelajaran untuk tidak lagi meremehkan desas desus yang mungkin di ceritakan oleh para tetua padanya. 'Karena mungkin terdapat secuil kebenaran dalam cerita cerita tersebut, jika kau mendengarkannya dengan serius.'