Aku menyenandungkan mantera-mantra kepedihan bersama hembus angin. Aku merasa bumi di bawahku bergemuruh dalam dinginnya guyuran hujan. Targetku berada dalam pandangan, tasnya tergeletak di samping sembari dia menanti kedatangan bus. Terasa seulas senyuman sinis tersungging di bibirku dan kedua bola mata gelapku menerawang tajam. Tetesan air hujan semakin lebat, saling berbalapan menghantam muka bumi. Aku meregangkan lenganku pelan dan hati- hati. Jaketku tersibak memperlihatkan tato-tato yang terukir di tanganku.
Dengan seringai jahat yang menggantikan senyumanku, aku melangkah pelan mendekati si pria muda dari belakang. Sudah sejak lama aku menyelidiki pria ini. Namanya Ian Summers. Umur 22 tahun, cerdas, memiliki perusahaan sendiri dan baru saja lulus kuliah. Dia juga adalah seorang pria berjiwa pecinta, menangani para wanita semudah mengerjakan tugas kantor. Saat itu ia sedang dalam perjalanan bisnisnya menuju sebuah kota kecil di daerah kentucky. Lucu sekali, padahal 'klien'nya sendiri menanti di kamar hotelnya dengan berlumur strawberry dan tangan terborgol tidak akan pernah menerima paket pesanannya.
Ku keluarkan kopi yang telah kucampuri obat tidur dari dalam tas, kugenggam erat cangkirnya lalu berjalan lurus ke pemberhentian bus, dengan tersenyuman ramah di wajah. Ian menoleh, matanya tertuju ke kopi panas di tanganku. Kutawarkan minuman itu padanya. tangan kikirnya langsung meraih cangkir yang kuserahkan, dia lalu menyesap cairan beruap itu dengan bibirnya yang membeku kedinginan.
~Tiga Jam Kemudian ~
Aku berdiri di dalam sebuah ruang bawah tanah yang tertimbun salju, menghadap ke sebuah meja dimana peralatanku telah tertata rapi. Tubuh Ian terpancang disebuah meja karatan, dengan kondisi telanjang bulat. Aku menyeringai saat obatnya mulai kehilangan pengaruh dan ian pun siuman. Sepasang matanya mengerjap membuka, lalu membelalak ketika dia menyadari keadaannya yang tak berbusana. Seperti manusia normal lainnya, dia langsung menjerit jerit, memenuhi kerongkongan serta tenggorokannya dengan udara dingin. Aku memutar bola mata kemudian kuambil jarum untuk mentato. Mata ian berkaca kaca menanti kepedihan yang akan dia jelang. Ku celupkan jarumnya ke cairan tinta terhitam kepunyaanku. Setelah itu aku mulai mengukirkan desainku yang rumit dan mempesona ke atas lengan Ian juga di dada bidangnya. Wajah ian menggambarkan derita tak terperi sembari kulitnya mengejang.
Aku tersenyum sok memelas, pria yang malang. Ku letakkan jarum setelah desainku selesai. Ian membuka mulut untuk berbicara, namun tak sepatah katapun keluar. Kuambil sebuah gergaji tulang, aku tersenyum sadis saat kulihat dia menampakkan wajah ngeri dan tubuhnya bergetar ketakutan. Ku perlihatkan raut simpatik polosku padanya lalu segera ku gesek-gesekan bilah gergaji itu di permukaan lutunya. Tampaknya ian akan kembali pingsan. Maka kulesakkan gergajinya kedalam daging Ian, gerigi bilahnya yang runcing merangsek mengiris dan meninggalkan segaris luka robek di kulit Ian. Ian pasti tak sanggup lagi sehingga diapun pingsan, jadi aku juga berhenti, lalu menunggu hingga ia tersadar kembali.
~ Empat Jam Kemudian ~
Mata Ian berkedip terbuka dan segera saja ku tekan bilah gergaji ke dalam lututnya, memotong tulangnya jadi dua. Aku terkekeh menyaksikan Ian muntah muntah ke sekeliling tempatnya berada, lutut Ian sudah buntung sekarang. cairan merah tua bermuncratan di atas meja, mewarnai besi berkarat itu. Kulit pada kedua pergelangan tanganya meneteskan darah akibat luka lecet yang disebabkan oleh kencangnya jeratan tali di tangannya. Aku tersenyum manis sembari kudekatkan gergajinya ke atas pinggang Ian, mendaratkan geriginya secara perlahan pada bagian tulang pinggul.
Mata Ian melotot ngeri oleh rasa sakit saat aku menggergaji ke dalam kulitnya, darahpun bercipratan ke udara. Ketika besi metal gergaji kian melesak masuk ber-inci inci memotong organ-organnya, pria di atas meja itu menjadi semakin pucat. Tubuhnya melunglai, dan nafasnya akhirnya terputus, namun pekerjaanku belumlah usai. Dengan cepat aku memotong menembus lapisan kulitnya yang tersisa, lalu kutarik lepas kedua lututnya. '_' Kukembalikan gergaji tulang ke atas meja untuk dan pisau bedah adalah mainan baruku selanjutnya. Aku mulai mengukir sebuah motif di dada Ian, tertawa lebar menyaksikan darah kental mengalir perlahan. Hal ini menghabiskan waktu satu jam. Dan akhirnya akupun selesai, tersenyum bangga menatap hasik karyaku.
Kemudian aku menulis sebuah catatan, untuk karya terakhir dari korban terakhirku. Sudah terculik. Sudah dikerjakan. Sudah komplit. Ku letakkan catatan itu di samping karya seniku lalu aku melangkah pergi menuju ruangan belakang. Catatan tentang diriku sendiri, yang bertuliskan semacam kata-kata perpisahan dariku, kutaruh di meja. Setelahnya aku duduk bersimpuh di lantai. Kuacungkan pistol di tangan ke arah kepala. Dan, sambil tersenyum sinting, kutarik pelatuknya.
Si pria dengan lengan bertato pun tak lagi menghembuskan nafas.
Baca Juga :
The Bottomless Pit
Room For One More
Baca Juga :
The Bottomless Pit
Room For One More