Malaikat Pembunuh di Balik Pohon



Mungkin ada hal-hal yang aneh dalam cerita ini. Beberapa akan tampak berlebihan dan kelihatan tidak penting.

Pernyataan seperti itu merupakan hal yang umum dengan jenis cerita seperti ini, namun untuk saat ini, kutekankan padamu bahwa ini benar-benar nyata.

Dulunya kakekku adalah seorang pengurus pemakaman, dan beberapa tahun yang lalu dia meninggal. Kakekku dan aku memiliki nama yang sama dan itu sedikit mengganggu saat mendengar namaku ketika pidato di pemakamannya. Aku melihat langsung saat-saat penurunan peti jenazahnya, dan namanya tercantum di batu nisan. 

Hal-hal itu membuatku berpikir tentang hidupku sendiri dibandingkan pemakaman yang seharusnya lebih aku utamakan.

Setelah penguburan, kami pergi meninggalkan rumah pemakaman. Bisnis telah diambil alih oleh seorang lelaki yang kurasa akan melakukan pekerjaannya dengan baik. Kakek pasti senang. Meskipun hal itu tidak begitu penting untukku.

Aku melihat sebuah pohon besar di halaman depan rumah duka. Di dekat puncak pohon, diantara dahan-dahan, terdapat sebuah hiasan malaikat kematian.  Tingginya sekitar tujuh kaki dan mengenakan jubah hitam yang berkibar menakutkan karena tertiup angin. Wajahnya tidak kelihatan, hanya sabit besarnya. 

Saat itu sudah awal November, jadi aku mengira pemilik yang baru akan segera menurunkannya. mengingat bahwa itu mungkin menimbulkan sedikit kesan menakutkan di rumah duka.

Saat kami kembali ke rumah Nenek, semua orang membicarakan betapa besar kerinduan mereka akan sosok Kakek. sungguh sedihnya mereka bahwa Kakek telah meninggal. 

“ Dia benar-benar orang yang baik”

“ Aku akan merindukan senyumannya”

Akan tetapi, mereka tidak memanggilnya ‘Kakek' , namun selalu menggunakan namaku. Aku seperti melihat masa depanku, melihat sekilas pemakamanku, kemudian muncul gambaran malaikat kematian.

Menunjukku. Menatapku dibalik tudungnya. Menyelubungiku dengan kegelapannya.

Setelah mulai malam, aku bilang aku ingin berjalan-jalan sebentar dan menyegarkan pikiranku. 
Hal yang bagus mengenai kota kecil adalah mereka benar-benar terisolasi dan cukup tenang di malam hari. Disaat aku sedang berjalan, aku melihat halaman belakang yang terpagar. Tengkorak banteng tergantung diatasnya.

Aku tidak yakin kalau itu hiasan halloween, aku tidak benar-benar yakin apa benda itu sebenarnya. 

Sebuah kincir angin sepertinya berputar dan berbunyi layaknya jeritan kecil yang datang dari arah taman namun sayang aku tidak dapat melihat apapun disana segelap ini.

Aku membetulkan kerah jaketku dan berjalan di sisi jalan, menuju tempat kerja Kakekku.  Aku menyadari kalau hiasan Malaikat Kematian sebelumnya akan terlihat lebih baik di malam hari. Aku mendongakkan kepalaku ke atas dan terkejut tidak melihat apapun di dahan-dahan pohon mapel itu. Mungkin sudah diturunkan tadi, atau jubah malaikat kematian itu bersembunyi dalam pekatnya gelap malam.

Entah mengapa aku malah merasakan bahwa kehadirannya justru terlihat semakin nyata oleh karena kurangnya penjelmaan secara fisik. Saat itulah aku memutuskan untuk berjalan pulang kembali ke rumah duka.

Ketika tiba-tiba sebuah tiupan angin menerbangkan pasir dan aku mendengar suara nyaring dari arah belakangku. karena aku berada di dekat banyak pepohonan, aku merasa bahwa itu adalah suara angin yang meniup ranting-ranting pohon di sebrang jalan, namun untuk beberapa saat suara itu lebih terdengar seperti sabit yang menggores beton dan kian mendekat menuju kearahku. Aku segera berlari kembali ke rumah Nenek seperti buruan yang lari dari pemangsa.

Ketika aku sampai, aku melihat Nenek dan yang lainnya sedang bermain pinochle *sejenis permainan kartu*. jantungku berdetak begitu kencang seperti hendak melompat menembus dadaku. Mereka bertanya mengapa aku begitu ketakutan.

Aku mengusap dahiku dari keringat, aku menutup mata, dan tersenyum. aku terlihat sangat bodoh. aku menceritakan pada mereka semuanya. 

Bagaimana hal yang terjadi saat itu sangat mempengaruhi pikiranku, tentang malaikat kematian yang berada di atas pohon, dan hal yang terjadi di jalan. 

Mereka tertawa dan berkata bahwa hari itu adalah hari yang berat untuk kami semua.  mereka mengajakku untuk bermain dengan mereka. Aku mengiyakannya. 

Aku melepas jaketku dan meletakkannya di atas kursi. saat aku hendak duduk,  rasa dingin tiba-tiba menjalar di sekujur tubuhku dan membuat nafasku tersengal.

Pamanku bertanya apa ada yang salah, dan Nenekku bertanya mengapa aku terlihat begitu pucat.  aku tidak bisa mendengar mereka. mereka seperti berbicara dalam bahasa roh. 

Disana, dibagian belakang jaketku, aku melihat sebuah koyakan besar bekas sabitan.

Hal berikutnya yang kusadari adalah cairan hangat merembes di punggungku.