Tetesan? Aku bertanya. Tetesan? Aku mendengar tetesan! aku mengomel. Aku mendongak cepat saat suara itu terus berbunyi. “IBU!” panggilku, “Atapnya bocor lagi!” aku meraba raba kasur buluku lalu mendesah dramatis. Hujan tolol!
Aku beranjak ke jendela dan melihat keluar tapi tidak hujan, atau turun salju. Hanya malam gelap yang diiringi suara burung hantu. Itu aneh... lalu itu suara tetesan apa? Aku melihat ke atas dan membeku mendapati pintu lotengku terbuka dan terlihat cahaya putih redup yang mana menunjukan ada seseorang disana.
Hati hati aku naik ke atas dan mengintip, kulihat sosok awut awutan ayahku.
Dia berdiri di depan beberapa buah karung yang merembeskan darah kehitaman. Aku menyadari dengan ngeri bahwa karung karung itu berisi potongan2 mayat ibu dan kakakku.
Tiba tiba ayahku berpaling dari karung2 itu lalu menoleh dan tersenyum seperti kanibal padaku membuat jantungku copot. Dia mengangkat pisaunya yang meneteskan darah lalu mengerling padaku,
“aku penasaran berapa lama kau akan naik kemari.”